Rapat Kebijakan Bank of Japan (BoJ) pada 21 September 2016 lalu telah mencatat sejarah dengan memperkenalkan kerangka kebijakan baru yaitu Yield Curve Control (YCC)
Berbeda dengan kebijakan moneter konvensional bank sentral pada umumnya, yang seperti menaik-turunkan suku bunga, menggelar operasi pasar terbuka atau program pembelian obligasi, menurut profesor Stephen Mihm dari University of Georgia, Yield Curve digunakan untuk menilai tingkat suku bunga masa depan dengan memplot return yang dibayarkan oleh obligasi berkualitas sama dengan tanggal jatuh tempo (maturity) berbeda-beda.
Yield Curve biasanya membentuk lengkungan ke atas, karena obligasi berjangka pendek memberikan tingkat return yang lebih rendah dibandingkan obligasi yang jatuh tempo lebih jauh di masa depan.
Namun, hal ini bisa berubah ketika kondisi ekonomi diproyeksikan memburuk dan para trader mengantisipasi terjadinya perlambatan pertumbuhan dan suku bunga yang lebih rendah.
Profesor Stephen Mihm mencatat dalam kolomnya di BloombergView bahwa Yield Curve obligasi dunia akhir-akhir ini lebih membentuk garis ketimbang lengkungan kurva, hingga pertengahan tahun 2016 ini, Yield Curve obligasi AS berada pada posisi paling lurus-nya sejak tahun 2007, sedangkan obligasi Inggris paling lurus sejak 2008.
Tahun-tahun tersebut menandai awal mula krisis finansial dan resesi, sehingga banyak orang meyakini bahwa kondisi Yield Curve saat ini merupakan awal dari perlambatan ekonomi besar, meskipun sebagian yang lain menganggapnya tak lebih dari respon sementara terhadap kebijakan bank sentral dalam merespon krisis.
Pendapat bahwa Yield Curve bisa memprediksi masa depan sudah ada sejak tahun 1960an ketika Ruben Kessel dari National Bureau of Economic Research (NBER) pertama kali memantau bahwa perbedaan antara suku bunga jangka pendek dan jangka panjang cenderung menyempit saat menjelang resesi.
Tahun 1970, Marty Leibowitz dari Salomon Brothers melacak yield obligasi dalam bentuk kurva, tidak lagi memperlakukan setiap jenis obligasi secara terpisah, namun profesor Stephen Mihm mengingatkan bahwa kekuatan prediktif Yield Curve bervariasi dari waktu ke waktu.
Menurut kesimpulan dari beberapa studi, kegunaan Yield Curve berhubungan terbalik dengan kredibilitas otoritas moneter, ketika pasar berpikir bahwa inflasi bisa lepas dari kendali karena pemegang kebijakan yang tidak kompeten, Yield Curve bisa berfungsi baik sebagai indikator krisis, namun saat inflasi terkendali dengan baik, maka Yield Curve tidak bisa dijadikan indikator yang handal.
maka dapat disimpulkan bahwa Yield Curve Control adalah kerangka kebijakan dimana BoJ akan berusaha mengendalikan kemiringan Yield Curve.
Bagaimana Caranya ?
Bank sentral biasanya bisa mempengaruhi yield melalui pembelian obligasi, jika sasarannya adalah Yield Curve, maka itu berarti BoJ akan menakar ulang program pembelian obligasinya dengan membagi-bagi apakah mereka akan lebih banyak membeli obligasi jangka pendek atau obligasi jangka panjang.
Lalu kenapa pengumuman Yield Curve Control membuat Yen ambruk di semua pair dan USD/JPY melonjak ?, itu karena ketika diumumkan, tak banyak yang memperkirakannya, meskipun jika ditelaah lebih lanjut dengan kepala dingin maka akan nampak bahwa Yield Curve Control ini kemungkinan tidak akan merubah situasi secara signifikan.
Bedanya hanyalah bahwa BoJ kini tidak lagi menjalankan inflation targeting, melainkan yield-targeting, namun arah kebijakan moneter-nya masih tetap longgar, inflasi belum akan bergeming, prospek pertumbuhan ekonomi-nya tetap nihil, dan BoJ tetap berhasrat melemahkan nilai tukar Yen.
Ini tampak dalam respon pasar beberapa jam setelah pengumuman, yang dimana pengumuman BoJ aslinya menyatakan bahwa mereka akan menggunakan dana dalam jumlah tak terbatas untuk menjaga yield JGB (Japanese Government Bond) 10-tahun di atas level nol.
Segera setelah pengumuman itu, yield JGB itu meroket ke 0.005%, namun langsung ambruk lagi dan kembali ke -0.023%.
Menurut Boris Schlossberg dari BK Asset Management, digesernya fokus ke yield targeting ini adalah pengakuan BoJ secara tersirat bahwa program suku bunga negatifnya saat ini tidak berfungsi, BoJ berharap agar suku bunga negatif dapat memicu aktivitas pembiayaan bank-bank, namun ternyata gagal dan bank-bank justru semakin malas menyalurkan dana-nya ke masyarakat.
Subjek Yield Curve Control jarang disebutkan dalam berbagai prediksi, namun sebuah artikel oleh David Keohane di Financial Times yang diterbitkan sekitar sehari sebelum rapat BoJ sebenarnya sudah menggambarkan kemungkinan BoJ untuk mengontrol Yield Curve,
Dengan menimbang opini dari analis di beberapa bank multinasional, opsi mengontrol Yield Curve disinggung oleh Goldman Sachs, HSBC, dan Deutsche Bank, meskipun semuanya cenderung pesimis jika BoJ akan mengambil langkah tersebut, apalagi menggunakannya sebagai salah satu kerangka kebijakan utama.
Goldman Sachs memperkirakan salah satu target utama BoJ ke depan adalah mengkoreksi dampak berlebihan kebijakan moneter yang longgar terhadap Yield Curve, namun, Deutsche Bank menyatakan pesimisme mereka meskipun BoJ berpikir bahwa semakin curamnya Yield Curve itu semakin baik, hampir tidak ada opsi untuk mencapainya (membuat Yield Curve jadi lebih curam), karena adanya keharusan untuk mempertahankan kebijakan moneter saat ini.
Pimpinan Ekonom Deutsche Bank, Mikihiro Matsuoka memaparkan lebih lanjut mengenai Yield Curve Control yang dinilainya mustahil :
Ini cukup jelas dari teori standar tentang struktur jangka waktu suku bunga, mari asumsikan bahwa BoJ berpikir kalau tingkat yield obligasi pada jangka waktu sangat panjang adalah terlalu rendah, lalu mengurangi aktivitas pembelian JGB dengan maturitas 20 tahun, serta di saat yang sama meningkatkan pembelian obligasi dengan maturitas 1 tahun, ini akan menyebabkan yield untuk obligasi 1-tahun menurun, yield obligasi 2-tahun ikut terseret turun, dan kemudian yield obligasi 3-tahun juga ikut menurun, dan seterusnya, satu demi satu, dalam reaksi domino hingga yield pada JGB dengan durasi sangat lama juga turut menurun.
Meskipun BoJ telah mengurangi pembelian JGB dengan maturitas 20 tahun, karena penurunan pada yield di sisi kurva yang lebih pendek itu meluas, maka yield-yield ini akan cenderung menurun dibandingkan meningkat, bahkan meskipun hanya terjadi kecuraman tipis pada Yield Curve itu, justru lokasi level absolut pada Yield Curve akan bergeser jadi lebih rendah daripada sebelumnya, ini tetap menjadi situasi yang tidak nyaman bagi pasar finansial dan lembaga-lembaga keuangan.